JAVANETWORK.CO.ID.SUMENEP – Bau Tak Sedap adanya Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep menyeruak.
Para aktivis dan influencer media sosial lagi membicarakan dugaan pemotongan Program BSPS untuk warga tak mampu.
Gegara bau tak sedap itu. Inisiatif baik pemerintah untuk memperbaiki rumah tidak layak huni di berbagai daerah tercoreng akibat ulah segelintir oknum.
Lalu publik bertanya. Apa penyebab bau tak sedap program BSPS di Kabupaten Sumenep menyengat hidung?
Berikut catatan jurnalis salamnews, Junaidi:
Dana penerima manfaat program BSPS langsung masuk ke rekening toko bahan bangunan. Bukan langsung ke penerima manfaat.
Entah apa yang melatarbelakangi aturan pemerintah bersikap demikian.
Tentu ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa uang yang seharusnya diberikan langsung kepada penerima bantuan, justru malah ditransfer ke pihak ketiga?
Seandainya uang dari Jakarta untuk memperbaiki rumah langsung ke rumah warga penerima manfaat bisa selamat. Tak ada dugaan pemotongan sana sini hingga hampir 50 persen.
Tapi nyatanya. Uang itu masuk ke rekening pemilik toko bahan bangunan yang ditunjuk oleh pihak tertentu.
Pertanyaan besar pun muncul, siapa yang memiliki toko tersebut. Apa dasar penunjukan nya?
Ok, anggap toko bahan bangunan tersebut ditunjuk berdasarkan berbagai pertimbangan administratif.
Namun, proses ini seringkali tidak transparan, sehingga memunculkan kecurigaan terkait potensi praktik korupsi yang ada.
Toko tersebut kemudian mengirimkan bahan bangunan untuk kebutuhan perbaikan rumah, namun harga bahan yang dibeli sering kali lebih mahal dibandingkan jika pembelian dilakukan langsung oleh penerima bantuan.
Proses pengadaan bahan bangunan juga tidak luput dari biaya tambahan yang perlu dibayar oleh penerima manfaat, seperti biaya pengiriman barang dan biaya naik turun barang ke alat angkut.
Hal ini tentu saja menambah beban bagi penerima bantuan.
Lain lagi dibebani biaya lain-lain dalam program ini. Meski tenaga pendamping itu diberi anggaran khusus oleh negara.
Lihat, katanya ada biaya administrasi. Padahal mereka pendamping dibiayai negara untuk mengawal program BSPS.
Total penerima BSPS dianggarkan Rp 20 juta. Faktanya, sekitar Rp 8 juta lenyap. Bahkan ada yang lebih sadis. Penerima tersisa Rp 8 juta dari Rp 20 juta jika dikonversi dengan harga bahan bangunan yang diterima, inklud ongkos kerja tukang.
Salah satu permasalahan utama yang kemudian muncul adalah sistem pengusulan dan pencairan dana.
Dalam program ini, terdapat peran “aspirator” yang mengusulkan penerima manfaat kepada pemerintah.
Para aspirator itu punya tenaga ahli yang telah dibayar oleh negara untuk membantu mengusulkan nama-nama penerima bantuan.
Proses ini legal. Tapi tidak jarang menimbulkan kecurigaan terkait siapa yang sebenarnya diuntungkan dari program tersebut.
Selain itu, adanya ketidakterbukaan mengenai siapa saja yang menjadi penerima manfaat BSPS dan bagaimana proses seleksinya juga menjadi perhatian.
Misalnya, mengapa nama dan alamat penerima manfaat tidak bisa diakses oleh publik? Apakah ini menjadi celah bagi oknum tertentu untuk bermain-main dengan data dan memanfaatkan program ini demi keuntungan pribadi?
Terkait dengan keterlibatan kepala desa dalam pelaksanaan program BSPS, banyak pihak mempertanyakan apakah mereka terlibat dalam proses penyelesaian rumah-rumah yang dibangun untuk penerima manfaat.
Ada anggapan bahwa kepala desa seringkali melibatkan orang-orang kepercayaan mereka dalam pekerjaan ini, yang kadang kala tidak transparan dan berpotensi menambah biaya di luar anggaran yang sudah ditetapkan.
Ada juga pertanyaan, apakah mereka yang “membantu” dalam proses ini, baik itu tukang atau pihak lain yang terlibat, bekerja secara gratis, ataukah ada biaya tambahan yang tidak dilaporkan?
Hal ini menunjukkan ketidakterbukaan dalam penggunaan anggaran yang seharusnya bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas.
Namun, yang paling mengherankan adalah mengapa banyak penerima manfaat yang mengaku terjerat utang setelah rumah mereka selesai dibangun. Apakah ada kesalahan dalam pengelolaan anggaran? Ataukah ada praktik-praktik tersembunyi yang menyebabkan penerima bantuan justru harus berhutang setelah mendapat bantuan ini?
Program BSPS yang seharusnya bertujuan untuk membantu warga yang kurang mampu memperbaiki rumahnya, kini justru menimbulkan banyak pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitasnya.
Terlebih lagi, jika kita melihat adanya dugaan praktek korupsi yang terjadi di balik layar. Modus-modus ini mungkin akan terus ada selama tidak ada upaya konkrit untuk memberantasnya.
Korupsi dalam program ini menjadi semakin mungkin terjadi apabila tidak ada pengawasan yang jelas dan akuntabel. Ketiadaan transparansi dalam pengelolaan dana dan pemilihan penerima manfaat juga membuka celah bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan kesempatan ini demi kepentingan pribadi.
Dengan semua masalah ini, menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, mengapa program BSPS yang dirancang untuk membantu masyarakat justru menjadi ladang korupsi bagi pihak-pihak yang terlibat.
Untuk itu, sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk segera memperbaiki sistem ini agar dana yang diterima dapat benar-benar digunakan untuk tujuan yang sesuai dan tepat sasaran.
Jangan sampai, niat baik untuk membantu warga yang kurang mampu justru dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan kepentingan golongan tertentu. (REDJAVA/Junaidi/Team****)