Keangkeran Mahkamah Konstitusi : Simbol Keadilan di Riuh Jakarta

  • Whatsapp
Rausi Samorano
banner 468x60

JAVANETWORK.CO.ID.SUMENEP – Jakarta, meski kini memiliki “saingan” sebagai ibu kota, tetap memegang gelar sebagai pusat kesibukan dan magnet segala cerita macet, glamor, dan kelam. Kota ini berdiri pongah sebagai metropoli terbesar di Nusantara, menyambut siapa pun dengan keangkuhan dan keunikannya bahkan sejak langkah pertama keluar dari kendaraan.

Bagi yang sering berkunjung, hiruk-pikuk Jakarta tak lagi mengejutkan. Di sinilah tempat semua paradoks bangsa bercampur: cerita sukses berbaur tragedi, kesejahteraan diselimuti korupsi, dan pengayoman bertemu dengan kekejaman. Sebagai pusat kekuasaan, Jakarta adalah dapur tempat sejarah Indonesia diracik dan diputuskan.

Bacaan Lainnya

banner 468x60

Namun, di tengah lanskap gedung pencakar langit yang mencolok, ada sekelompok bangunan pemerintah yang tampak berdiri berdekatan, seperti bersandar satu sama lain. Salah satu contohnya adalah Gedung Kementerian Keuangan RI yang bersebelahan dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua bangunan ini bak cerminan dua sisi kekuasaan satu mengatur harta negara, satunya lagi menjaga keadilan dan konstitusi.

Gedung MK langsung menarik perhatian. Pilar-pilar besar dan kubah menyerupai mahkota mencerminkan kekuatan dan martabat sebagai benteng terakhir konstitusi. Tulisan “Mahkamah Konstitusi” di depan gedung seolah menjadi deklarasi bahwa inilah “Raja” tafsir undang-undang. Aura sakral terpancar kuat, tidak hanya dari arsitekturnya, tetapi juga dari aktivitas di dalamnya.

Beda cerita dengan gedung Kementerian Keuangan. Meski sama-sama megah, gedung ini membawa nuansa kekuasaan finansial. Dengan dinding kaca yang menjulang tinggi, ia menampilkan kemewahan yang dingin, seolah menyimpan rahasia perputaran kekayaan negara. Namun, aura intimidasi langsung terasa saat melihat tulisan “Dirjen Perpajakan.” Bayangan seram tentang laporan pajak segera menghantui siapa pun yang melewati.

Hari itu, suasana di depan MK lebih sibuk dari biasanya. Sopir taksi online yang mengantar saya menyebut, “Ada sengketa Pilkada.” Benar saja, kerumunan pengacara dan pihak-pihak yang terlibat memenuhi area. Ada tiga faksi besar: kuasa pemohon (biasanya dari pasangan calon yang kalah), kuasa termohon (dari KPU), dan kuasa pihak terkait (dari pasangan calon pemenang).

Setiap faksi membawa doa dan dalil yang berbeda, semua ditujukan pada Tuhan yang sama. Pemohon berharap gugatan diterima, termohon ingin gugatan ditolak, dan pihak terkait tentu saja berdoa tetap menang. Di balik itu semua, ada Bawaslu, tangan kanan Mahkamah, yang hadir untuk merekam dan mengawasi jalannya demokrasi.

Namun, keangkeran MK tidak berhenti di pintu masuk. Setelah melewati pemeriksaan ketat seperti di bandara, aura mistis berlanjut ke ruang sidang. Para hakim MK dengan kharisma mereka sering membuat para kuasa hukum grogi. Beberapa bahkan tergagap, salah membaca dokumen, hingga secara refleks memanggil hakim dengan sebutan “Kiai.”

Selain hiruk-pikuk pengadilan, ada sisi “horor” lain dari pengalaman di sekitar MK: harga makanan. Secangkir kopi dihargai Rp55 ribu, dan sepiring nasi goreng mencapai Rp180 ribu! Ini adalah cerminan Jakarta menakutkan sekaligus memikat.

Jakarta, dengan segala kontradiksinya, tetap menjadi pusat gravitasi. Gedung-gedungnya tak hanya simbol kekuasaan, tetapi juga panggung drama kehidupan bangsa. Keangkeran MK adalah gambaran kecil dari kompleksitas ibu kota ini.

Pada akhirnya, Jakarta bukan hanya kejam, tetapi juga keren. Sebuah tempat di mana harapan, perjuangan, dan ironi hidup berdampingan. Bagi mereka yang mampu, Jakarta adalah peluang. Bagi yang tidak, ia adalah cerminan realitas keras yang sulit dilupakan. (Penulis Rausi Samorano, “Kereta Argo 9 Januari 25)

banner 468x60

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan