JAVANETWORK.CO.ID.SUMENEP – Matahari baru saja terbit di ufuk timur ketika saya melangkahkan kaki menuju Warung Kopi Permusyawaratan Pusat dan Daerah (Warkop Perpusda).
Tempat ini bukan sekadar warung kopi biasa, melainkan destinasi legendaris bagi para pecinta kopi, obrolan santai, dan suasana hangat yang sulit ditemukan di tempat lain.
Seperti biasa, usai menuntaskan tugas negara mengantar anak sekolah, saya mampir ke warkop ini. Secangkir kopi hitam panas dan sepiring gorengan selalu jadi penyemangat pagi.
Hari itu, aroma khas kopi bercampur dengan gurihnya gorengan segera membangkitkan semangat saya yang masih tergerus rasa kantuk akibat kurang tidur.
Saat saya menikmati kopi, pandangan saya tertuju pada seorang lelaki tua di meja seberang. Dengan koran yang sudah dilipat rapi, ia tampak seperti sosok yang ingin berbagi cerita, menghangatkan suasana pagi.
Merasa ada peluang untuk memulai obrolan, saya mengeluarkan sebungkus jagung palotan goreng, camilan khas dari Pulau Raas, Sumenep, yang saya bawa sebagai teman minum kopi.
“Pak, mau coba ini? Jagung palotan goreng, khas Sumenep. Renyah dan gurih, lho!” tawar saya sambil menyodorkan bungkusan itu.
Lelaki tua itu tersenyum, melirik saya sejenak, lalu menjawab dengan santun, “Terima kasih, Nak. Tapi saya nggak, deh.”
Awalnya, saya mengira ia belum lapar. Namun, rasa penasaran membuat saya mencoba lagi. “Pak, beneran nggak mau? Ini camilan khas daerah, jarang-jarang ada di luar Sumenep!”
Ia hanya tersenyum lebih lebar sambil menggeleng. Saya mulai bertanya-tanya, apakah ia tidak suka jagung, atau mungkin ada alasan lain? Rasa penasaran saya semakin memuncak.
“Pak, ini lho enak banget. Cuma sekali coba, pasti ketagihan!” Saya mencoba untuk ketiga kalinya.
Akhirnya, lelaki tua itu tertawa kecil, lalu mendekatkan diri ke arah saya. Dengan nada pelan, ia berbisik, “Nak, bukan saya nggak mau. Tapi… ya gigi saya udah tinggal cerita. Hahaha!”
Saya tertegun sesaat sebelum akhirnya tertawa bersamanya. “Waduh, Pak, maaf ya! Kirain nggak selera, ternyata ompong!”
Ia hanya mengangguk sambil terkikik, “Kalau mau nyumbang gigi palsu, saya nggak nolak, lho. Hahaha!”
Obrolan itu mengalir begitu hangat. Tak ada rasa sungkan, hanya tawa sederhana yang membuat pagi itu terasa istimewa. Jagung palotan yang saya tawarkan akhirnya saya nikmati sendiri, sambil terus berbincang ringan dengan si bapak.
Suasana di Warkop Perpusda pagi itu tak hanya diisi aroma kopi dan gorengan, tetapi juga cerita dan tawa yang menyatukan dua orang asing. Bukan tentang apa yang dimakan atau diminum, tetapi tentang bagaimana interaksi sederhana bisa menghangatkan hari seseorang.
Setelah obrolan itu, saya menyadari satu hal, kehidupan sering kali menawarkan kebahagiaan melalui hal-hal kecil yang tak terduga. Secangkir kopi, sepiring jagung palotan, dan seorang lelaki tua dengan cerita giginya yang hilang, itulah yang membuat pagi di Warkop Perpusda menjadi kenangan yang tak terlupakan. (REDJAVA/Mas’odi****)