JAVANETWORK.CO.ID.SUMENEP – Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Surabaya tidak berani membeberkan hasil temuan investigasi tindaklanjut soal kapal ponton bermuatan batu bara yang berhari-hari sampai sekitar dua bulanan terdampar dan muatannya tumpah yang diduga mencemari perairan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Rabu (13/4/2022).
Padahal hingga saat ini, sudah memakan waktu sekitar setengah bulan sejak Selasa (29/3/2022) saat PSDKP Surabaya turun langsung ke Pulau Masalembu melakukan tindaklanjut investigasi. Namun, hasil investigasi itu belum dibeberkan kepada publik sekaligus tindaklanjut yang bakal dilakukan.
“Itu kemarin apa yang terjadi di lapangan kita laporkan apa adanya kepada pimpinan begitu sampai Surabaya. Terkait lebih lanjut saya menunggu arahan dari pimpinan gitu aja mas,” kata Kepala Satwas SDKP Surabaya, Yuliono, saat dikonfirmasi lebih lanjut media, (11/4).
Lagi-lagi Kepala Satwas SDKP Surabaya yang turun langsung melakukan investigasi ke Pulau Masalembu ini enggan mempublikasikan hasilnya menyebut menunggu arahan dari pimpinannya.
“Yang kemarin itu kan arahan dari Dirjen kita suruh melalui Bapak Kepala PSDKP Benua kita suruh menindaklanjuti yang di Masalembu dan sudah kita tindaklanjuti dan sudah kita laporkan apa adanya. Terkait dengan laporan kami saya tidak bisa publikasikan mas. Begitu juga terkait tindaklanjut seperti apa saya menunggu arahan dari pimpinan dan selama yang saya ketahui biasanya silent,” sebutnya.
Sebelumnya diberitakan media, masyarakat setempat juga mendesak PSDKP Surabaya membeberkan hasil tindaklanjut investigasi yang dilakukan soal kapal ponton bermuatan batu bara yang berhari-hari sampai sekitar dua bulanan terdampar dan muatannya tumpah yang diduga mencemari perairan Masalembu.
Haerul Umam mengatakan dengan kedatangan PSDKP Surabaya ke Pulau Masalembu kemarin itu bagaimana bisa memberikan kejelasan baik berapa banyak soal muatan batu bara dan berapa banyak batu bara yang bisa diselamatkan serta berapa banyak batu bara yang jatuh ke laut.
“Kemudian berapa luasan laut yang terkena tumpahan batu bara dan perusahaan apa kapal pengangkut batu bara dan akan dibawa kemana batu bara itu, ini harus bisa jelas setelah dilakukan investigasi oleh PSDKP Surabaya. Termasuk bagaimana kondisi di dasar laut hasil dari investigasi PSDKP Surabaya sekaligus langkah tindaklanjut selanjutnya,” kata warga Masalembu ini saat dihubungi dikonfirmasi media, Kamis (31/3/22).
“Karena kami menduga ada batu bara yang jatuh ke laut di Perairan Masalembu ini yang mencemari. Karena kalau menurut Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2018 tentang rencana zonasi itu wilayah tangkap sampai 4 Mil wilayah tangkap tradisional, artinya itu kan menjadi wilayah tangkap nelayan tradisional dan ada orang mancing disitu, sementara kapal ponton bermuatan batu bara yang tumpah itu kurang lebih 1,06 Mil dari bibir pantai,” papar Haerul.
Untuk diketahui, sekitar hampir dua bulan sebuah Kapal Ponton Woodman 37 yang mengangkut batu bara terdampar dan muatannya tumpah ke perairan Masalembu, Jawa Timur, sejak akhir Januari dan hingga pekan ini masih kandas di lokasi wilayah Kabupaten Sumenep ini. Warga telah melapor kepada Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur serta Gakkum namun justru diabaikan.
Kepada media, Kamis (24/3/2022), warga Kepulauan Masalembu, Haerul Umam, mengungkapkan, bahwa tumpahan batubara itu menyebabkan perubahan pada warna air laut di sekitar lokasi dan menyebabkan nelayan tidak bisa mencari ikan di lokasi kapal yang kandas yang memang menjadi wilayah tangkap masyarakat setempat dalam mencari nafkah para nelayan.
Menurutnya, pengabaian atas laporan nelayan Masalembu ini, maka dalam waktu dekat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bersama masyarakat Masalembu akan berkirim surat ke Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur serta Gakkum Jawa Bali Nusa Tenggara untuk bergerak mengusut dugaan pencemaran pesisir perairan Masalembu termasuk mengungkapkan kepada publik siapa pemilik batubara dan akan dibawa ke pembangkit mana muatan tersebut.
Haerul mengatakan, dirinya bersama warga Masalembu yang memperoleh informasi pada 15 Maret 2022, berinisiatif mengecek langsung informasi ponton yang kandas. Mereka sempat mengabadikan kondisi tongkang pada siang harinya. Dimana, ada dua kapal ponton yang terdampar termasuk Woodman 37.
Diterangkan Haerul, sementara keterangan warga, satu ponton lain telah memindahkan muatan batubaranya ke kapal tongkang bantuan yang baru datang. Tak jauh dari ponton itu ada dua kapal tugboat yakni dengan nama lambung Dolphin dan Fortune.
Haerul mengaku, pada 18 Maret 2022, pihaknya bersama warga Masalembu kembali ke lokasi dan menemukan Kapal Ponton Woodman 37 telah karam setengah, sementara muatannya sudah tidak ada. Ada banyak bekas tumpahan batubara di perairan sekitarnya.
Dikatakan Haerul, warga telah melaporkan kasus tumpahan batubara ini ke Dinas Kelautan Provinsi Jawa Timur namun tidak ada tanggapan. Warga lalu melapor ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur.
“Namun sayangnya bukannya bereaksi cepat terkait pencemaran laut ini, warga malah diarahkan untuk membuat laporan ke bagian Gakkum Kementerian LHK. Sementara itu informasi yang diperoleh dari Kantor Syahbandar Masalembu, Kapal Ponton Woodman 37 ini mulai memasuki perairan Masalembu pada akhir Januari,” terang Haerul.
Lanjut Haerul menerangkan, Ponton Woodman 37 ini telah terdampar hampir dua bulan lamanya. Namun dikatakannya tidak ada tindakan atas kemungkinan tercemarnya perairan akibat tumpahan batubara ke dasar perairan Pulau Masalembu Sumenep.
“Masyarakat sangat khawatir dan meminta instansi terkait agar ini ditindaklanjuti,” ungkap Haerul.
Haerul mengungkapkan, pada 21 Maret 2022, surat aduan kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia secara online terkait dugaan pencemaran perairan Masalembu akibat tumpahan batubara dari Kapal Ponton Woodman 37 ini.
“Surat aduan tersebut bahwa banyak nelayan yang melaut di perairan Masalembu mengeluh karena air laut menjadi hitam akibat tumpahan batubara dari kapal tersebut,” jelas Haerul.
Salah satu warga Kepulauan Masalembu Sumenep ini meminta agar aparat penegak hukum dapat segera melakukan penanggulangan agar tumpahan batubara tidak semakin mencemari perairan Masalembu. Selain itu, juga menuntut agar aparat penegak hukum dapat menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang menjadi pemilik Kapal Ponton Woodman 37 tersebut.
Atas persoalan ini, Direktur Walhi Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan, juga angkat bicara. Pihaknya menyesalkan sikap abai tidak adanya tanggapan dari instansi pemerintah terkait.
“Kami menyesalkan tidak adanya tanggapan dari Dinas Kelautan dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Bahkan sikap Dinas Lingkungan yang menyebut laporan itu bukan domain mereka justru menunjukkan kinerja yang buruk. Padahal pencemaran mengancam lingkungan hidup dan telah menghambat mata pencaharian nelayan Masalembu,” terang Wahyu.
Menurut Direktur Walhi Jawa Timur, kejadian tumpahan batubara ini melengkapi potret pencemaran kawasan laut dari industri energi fosil, di mana dari hulu sampai hilir telah bermasalah dengan berbagai tingkatan perusakan lingkungan.
“Masih basah dalam ingatan kita tumpahan minyak di pesisir utara Karawang, Jawa Barat oleh Pertamina, kemarin tumpahan Oli di perairan Lampung, dan masih banyak lagi praktek pencemaran serupa baik yang sudah diketahui maupun yang belum. Sehingga tumpahan batubara di perairan Masalembu menggenapi pencemaran kawasan laut yang diakibatkan industri kotor,” bebernya.
Selain Walhi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, juga ikut bereaksi atas permasalan yang terjadi ini. Direktur LBH Surabaya, Abd. Wachid Habibullah, mengatakan, bahwa hal ini pun menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masih belum menjadi prioritas, semakin menunjukkan bahwa implementasi UU PPLH No 32 Tahun 2009 belum sepenuhnya dijalankan.
“Apalagi ke depan dengan adanya UU Cipta Kerja, maka akan ada reduksi dari UU PPLH dalam hal pencegahan dan perlindungan, sehingga kejadian serupa mungkin akan semakin sering dan risiko kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin rentan,” terang Wachid. (ILY)