Perda Ngibul Bantuan Hukum

  • Whatsapp
Sulaisi Abdurrazaq Ketua Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia Jawa Timur
banner 468x60

JAVANETWORK.CO.ID.SUMENEP

*Perda Ngibul Bantuan Hukum*

Oleh: *Sulaisi Abdurrazaq*
(Direktur LKBH IAIN Madura)

“Kalau ahli hukum tak merasa tersinggung atas pelanggaran hukum, sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan.”

*Pramoedya Ananta Toer*
(Penulis dari Indonesia 1925-2006)

*DOSA* jariyah yang tidak akan pernah putus adalah dosa anggota DPRD dan Pemkab Pamekasan pembuat Perda No. 10/2015 tentang Bantuan Hukum. Kecuali Perda itu diperbaiki atau dicabut.

Kita tidak tahu apakah Perda Bankum itu inisiatif eksekutif atau legislatif. Tapi paling tidak, kami tidak akan berhenti untuk mengkritik dan mengoreksi produk hukum, meski selama ini masih melalui upaya-upaya FGD, telaah dan diskusi, lalu membentuk _public opinion_ untuk menegaskan bahwa Perda No. 10/2015 tentang Bankum di Pamekasan mengalami cacat substansi.

Cacat substansi dimaksud menyebabkan disorientasi. Awalnya untuk menjamin warga tidak mampu agar mendapat akses keadilan -(access to justice)-dengan prinsip -equilitity-dan kepastian hukum. Tapi nyatanya, hukum berakhir di tumpukan kertas. Anggaran daerah habis hanya untuk menumpuk “sampah” yang tak kunjung bermanfaat. Perda Bankum mengalami cacat substansi yang cukup serius dan harus segera diatasi.

Untuk kepentingan diskursus akademis, Fakultas Syariah IAIN Madura bersama DPC APSI Madura pada tanggal 19 Maret 2019 menggelar Diskusi Terbatas dengan tajuk: -“Telaah Terhadap Perda Kabupaten Pamekasan Nomor 10 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin”_ bertempat di Laboratorium Terpadu Fakultas Syariah IAIN Madura.

Hasil-hasil diskusi menyimpulkan bahwa Ruang Lingkup Perda Bankum Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (4) tidak memihak warga miskin yang terjerat kasus hukum, melainkan justru memihak kepada pejabat yang terseret sengketa TUN.

Intinya, Perda tersebut hanya memberi legitimasi untuk memberi bantuan hukum gratis kepada Pejabat TUN yang terjebak sengketa TUN. Sementara dalam perkara pidana sudah benar untuk membantu terdakwa, namun entah dengan _reasioning_ apa Perda ini tidak dibuat untuk membantu warga yang terjebak kasus-kasus perdata. Yang dibantu hanya terdakwa dalam perkara pidana dan tergugat dalam sengketa TUN. Aneh bin ajaib.

Selain itu, terdapat catatan penting, yaitu, Pasal 8 terlihat bahwa penyusun tidak dapat membedakan antara pendampingan pada tingkat litigasi dan non litigasi. Pada pasal tersebut disebutkan:

-“Pemberian Bantuan Hukum secara litigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan cara:_

-a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan dan penuntutan”.

Bagaimana bisa menjalankan kuasa pada tingkat penyidikan dinilai sebagai pemberian bantuan hukum secara litigasi. Bukankah makna pendampingan litigasi itu hanya di pengadilan dan tidak termasuk di luar pengadilan.

Catatan lainnya adalah, pada Pasal 9 huruf a, Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 19 Perda ini hanya membatasi pemberian bantuan hukum hanya pada peradilan tingkat pertama. Jadi, Perda ini tidak membantu rakyat miskin yang kalah pada tingkat pertama untuk berjuang pada tingkat banding atau kasasi, apalagi Peninjauan Kembali.

Atmosfer diskusi dan suasana kritis terulang kembali pada tanggal 7 Maret 2022 ketika Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan, Aliansi Jurnalis Pamekasan (AJP), Forum Wartawan Pamekasan (FWP) serta Jurnalis Center Pamekasan kompak menggelar kegiatan Ngopi Asyik Membincang Prodeo dan Hak Hukum Warga Kurang Mampu bekerjasama dengan LKBH IAIN Madura bertempat di Aula Mini Fakultas Syariah IAIN Madura.

Nara sumbernya adalah Kabag Hukum Pemda Pamekasan, Direktur LKBH IAIN Madura dan representasi dari Kejari Pamekasan.

Pada momentum itu secara _hyperbolic_ saya tegaskan, meski sampai kiamat Perda Bankum No. 10/2015 tidak akan dapat direalisasikan karena substansi Perda tersebut untuk memberi bantuan hukum kepada pejabat secara gratis, bukan rakyat miskin.

Setelah itu media dan jurnalis menulis dan menyebarkan informasi tersebut ke ruang publik. Tapi harapan besar saya, jurnalis benar-benar mengawal masalah ini sampai Perda ini diperbaiki atau dicabut.

Tujuan Bankum itu untuk membantu kaum -mustadh’afin- serta mereka yang, meski bekerja sepanjang waktu, tapi penghasilannya tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Wartawan, akademisi, dan praktisi hukum dapat saja mencari, apakah ada naskah akademik pada saat Raperda Bankum ini dibahas di DPRD, apakah Perda tersebut inisiatif legislatif atau eksekutif.

Raperda memiliki justifikasi ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan penyusunannya apabila terdapat naskah akademik terlebih dahulu. Naskah Akademik itu dilengkapi kajian filosofis, sosiologis dan yuridis.

Perda Bankum No. 10/2015 ini sejak 2015 sampai saat ini tidak mengandung asas manfaat, hanya ada Perda, tak pernah/tak dapat direalisasikan. Ibarat berhala yang dipahat oleh tangan-tangan seni dengan susah payah, lalu menjadi pajangan. Tak ada manfaat, hanya dapat dilihat. Anggaran di DPRD digunakan untuk membuat Perda bermasalah seperti ini.

Sampai saat ini, belum ada Perbup turunan mengenai Bankum sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, karena Perdanya sendiri mengandung cacat serius yang menyebabkan kelumpuhan.

Dalam pandangan saya, siapapun Bupati dan anggota DPR nya, bila tidak segera memperbaiki atau tidak mencabut Perda ini maka dosa jariyah akan terus mengalir.

Jika tidak mau diperbaiki, ya dicabut atau dibatalkan. Jika tidak, maka terdapat empat alternatif yang dapat dilakukan:

-Pertama – jika Perda itu inisiatif DPRD, lakukan – ereview

-Kedua – bila eksekutif bertanggungjawab dapat melakukan – executive review-

-Ketiga – lakukan – review – Mahkamah Agung

Jalan terakhir, revolusi rakyat miskin. Menekan penguasa memperbaiki, atau mencabut Perda No. 10/2015 tentang Bankum. Biar penguasa mencicipi ombak. Salam kritis dari kami, LKBH IAIN Madura (*)

banner 468x60

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan