Javanetwork.co.id – Secara inheren, ajaran Islam (QS Ar Rum:41) mengingatkan bahwa kerusakan (fasad) alam sudah terjadi dengan derajat realitas yang nyata (dhahir). Saat ini, sebagaimana afirmasi berbagai otoritatif, krisis pihak tersebut menjadi, dengan korelasi beragam bencana ekologi yang di antaranya merupakan dampak krisis iklim.
Dengan afirmasi Al-Qur’an dan konteks keummatan, muslim Indonesia sejatinya memiliki peluang besar dalam merespons tantangan global mengenai lingkungan dan krisis iklim. Fakta sebagai komunitas muslim terbesar dalam satu negara di dunia memiliki potensi daya yang kuat dalam mewujudkan ekologi sosial dan berkelanjutan.
Secara spesifik, pendidikan Islam mampu menajamkan kesempatan besar tersebut ke dalam konstruksi perspektif kependidikannya. Pada konteks ini, capaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (14/12/2021) sebagai The 2021 Most Sustainable Improvement University dalam ajang penghargaan UI GreenMetric 2021 layak diapresiasi. Pada tahun yang sama, 21 madrasah yang tersebar di berbaga kawasan Indoneisa terpilih sebagai Sekolah Adiwiyata atas gerakan peduli dan budaya lingkungan yang dikembangakan, disusul kemudian capaian Pondok Pesantren Darul Hijrah Martapura yang menjangkau Kalpataru 2021 untuk kategori Pembina Lingkungan. Jelas, secara mendasar capain tersebut menjadi penanda penting semangat pendidikan Islam dalam merespons krisis iklim dan lingkungan sebagai agenda nasional dan global di mana Indonesia berperan penting di dalamnya.
Setelah mengikuti Konferensi Perubahan Iklim pada Conference on Party (COP26) pada penghujung tahun lalu, Indonesia bersiap menyelenggarakan global Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 2022 di Bali dengan salah satu perhatian pada isu perubahan iklim. Dalam konteks presidensi dan penjelasan materi KTT G-20 Bali, Presiden Joko Widodo secara eksplisit menjelaskan salah satu titik pembahasan KTT G-20 adalah skala resiliensi iklim, usaha penurunan emisi karbon, dan teknologi hijau. Agenda strategis ini patut dilihat sebagai kesempatan penting bagi pendidikan Islam dalam kampanye ekologi sosial dan berkelanjutan.
Capaian UIN Jakarta dan berbagai lembaga pendidikan Islam lainnya menjadi pendorong pendorong dan satuan kerja pendidikan Islam lainnya untuk membangun langkah bersama menanggapi krisis iklim dan lingkungan. Langkah bersama yang diperlukan karena ekologis adalah bagian dari ketahanan sistem biologi yang beragam, produktif, dan berkenaan dengan variasi nilai, di antaranya adalah ekonomi (Jatna Supriatna, 2021). Artinya, diperlukan sikap dan penanganan yang melibatkan konstruksi transdisiplin.
Titik Pijak
Kalangan Pendidikan Islam dapat memulai setidaknya dengan beberapa hal mendasar. Pertama, mendorong kesadaran umat Islam dengan mempromosikan pentingnya menjaga lingkungan dan krisis iklim. Konsepsi Islam rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta) menjadi titik pijak fundamental pentingnya menghadirkan nilai Islam yang bukan hanya moderat pada sesama dan toleransi pada keragaman, namun juga memiliki kepedulian yang mendalam pada kerusakan alam dan lingkungan. Sudah saatnya pula, kalangan pendidikan Islam perlu “gunung” memberikan perhatian lebih pada krisis lingkungan dan iklim pada batas iman, etis, dan spektrum kependidikan yang mendukung.
Entitas muslim Indonesia bukan hanya membuka kemungkinan menjadi pemimpin atas inisiatif global dan dunia muslim dalam menghadapi krisis lingkungan dan iklim, namun juga menjawab kabar mencemaskan dan pandangan para ahli terkait.
Dalam Sixth Extinction (2014), Elizabeth Kolberg menggambarkan dunia akan menghadapi kepunahan berdasarkan berdasarkan tinggi pengasaman alam di lepas pantai Italia, nasib mengenaskan karang di Great Barrier Reef, kondisi hutan tropis di Peru dan Indonesia, fragmentasi habitat di lembah Amazon dan sekitarnya, dan dari konsekuensi perpindahan spesies global secara massal dari satu tempat ke tempat lain.
Kegelisahan Kolberg bernada mirip dengan kritik dan lingkungan Timothy Morton dengan pandangannya mengenai hyperobject atau kecanggihan sekaligus kerakusan perkembangan biologi pada nilai dan eksistensi kemanusiaan dalam investigasi intelektual Craig Venter, serta beragam pandangan serupa lainnya. Di titik ini, kepunahan ala Kolberg dan pandangan senada patut dijadikan renungan dan peringatan bersama.
Dengan pandangan Kolberg, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres bahkan memberikan status “Kode merah” kemanusiaan untuk masalah lingkungan dan iklim. Dalam kapasitas dan dukungan saintifik pada Guterres serta liputan mendalam Kolberg, keduanya mengafirmasi kondisi lingkungan dan iklim dunia yang sedang tidak baik-baik saja, dengan manusia sebagai penyebabnya.
Kedua, kalangan pendidikan Islam dapat menjadi yang terdepan dalam membangun konsepsi rutinitas dan gaya hidup keummatan yang berkelanjutan. Dalam konsep ekologi sebagai bagian penting ranah sosial, hajat besar merawat bumi dan tantangan iklim harus menjadi kerja bersama. Rutinitas dan gaya hidup yang berkelanjutan dalam beragam praktik menjadi kehidupan umat Islam, sangat mungkin menjadi daya dorong yang kuat bagi upaya dekarbonisasi sektor primer (Putri Setiani, 2020), dematerialisasi rantai produk, dan lebih mendasar lagi adalah unsur pemaksa. Jika sudah menjadi kesadaran dan gaya hidup komunitas terbesar, konsep produksi dan produsennya akan mengikuti kemauan terpenting ini.
Dengan idealitas dan harapan demikian, tantangan juga mengiringi. Pendidikan Islam masih disibukkan dengan tahap perkembangan memenuhi sarana prasarana dan pemenuhan indeks baku mutu pada berbagai standarnya. Dalam posisi demikian, fokus untuk menjalankan fungsi yang mendorong kesadaran umat mengenai krisis lingkungan dan iklim tidak bisa mendapatkan tempat semestinya. Secara teknis dan substansi keilmuan, kalangan pendidikan Islam memiliki jarak dengan konsepsi ilmu lingkungan dan iklim.
Namun, kesepakatan dan rancangan saintifik dan kebijakan politik secara global tidak berdiri sendiri sebagai sebuah rancangan perubahan. Islam dengan semangat moderat pada semesta diyakini diyakini menjadi daya dorong yang kuat menuju perubahan yang dimaksud. mempertimbangkan perlunya mengintensifkan suatu keharusan dan semangat besar untuk menangani krisis iklim dan investasi yang didasarkan pada kepentingan kepentingan umat. Kepentingan tersebut terkait erat dengan sikap dan tindakan manusia untuk menjaga harmoni dengan alam dan lingkungan. Di dalamnya, kewajiban untuk merawat planet bumi dalam keseimbangan alam dan kestabilan iklim mutlak dilakukan semua pihak.(*)
Saiful Maarif, Asesor SDM Dit PAI Ditjen Pendidikan Islam