Inilah Model Pendidikan Yang Merdeka Bagi Masyarakat Sedulur Sikep

  • Whatsapp
Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep (foto by nusantaranews.co)
Masyarakat Samin atau Sedulur Sikep (foto by nusantaranews.co)
banner 468x60

Javanetwork.co.id – Melalui pendidikan, manusia menjadi berdaya guna dan bermanfaat bagi sekitar. Celakanya, pendidikan acapkali hanya dimengerti ketika seseorang berhasil menempuh sekolah formal. Berbeda halnya dengan masyarakat Samin, atau kerap disapa sedulur sikep, yang memiliki caranya sendiri dalam menimba ilmu.

Sebutan Samin diberikan kepada mereka yang mengikuti ajaran Samin Surosentika atau Raden Kohar. Memasuki era modern masyarakat Samin lebih suka menyebut dirinya sebagai sedulur sikep.

Bacaan Lainnya

banner 468x60

Studi yang dilakukan oleh Agus Supratikno dan Suwarto Adi, dalam Jurnal Dinamika Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, mereka melakukan suatu pengkajian terhadap sistem pendidikan anak sedulur sikep. Penelitian ini dilakukan di daerah Sukoliilo, Pati.

Menurut peneliti, pendidikan anak Sedulur Sikep memang sangat sederhana dan mempunyai keterbatasan. Namun apabila ditinjau dengan visi pendidikan Romo Mangun mengenai belajar sejati, Sedulur Sikep sedikit banyak telah merepresntasikannya. Menurut Romo Mangun, belajar sejati adalah belajar yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan tempat.

Sedulur Sikep lebih mengutamakan pendidikan kehidupan, daripada hanya sekadar teori. Mereka mengajarkan sistem pendidikan kontekstual, yaitu sesuai dengan latar belakang, keinginan, dan kebutuhan mereka. Hal ini terlihat saat peneliti melakukan wawancara terhadap Gunarti.

“Sekolah adalah sebuah pembelajaran, jadi tidak hanya membaca dan menulis, karena keinginan Sedulur Sikep itu bekerja di sawah, menjadi petani, maka yang dipelajari adalah pertanian,” ucap Gunarti selaku pendiri pendidikan anak-anak keluarga Sikep.

Menjadi petani adalah bagian dari Sedulur Sikep yang mereka hidupi setiap hari. Bagi mereka, sawah adalah guru dan cangkul merupakan alat tulisnya. Kendati demikian, bukan berarti anak-anak Sedulur Sikep tidak mempelajari ilmu-ilmu lainya seperti berhitung dan menulis.

“Pendidikan mereka bukan hanya bergelut dengan aspek teori saja, tetapi juga bergelut dengan lingkungan di mana mereka hidup yaitu sawah dan ladang. Bagi mereka, sawah (lingkungan hidup) adalah guru yang mengajarkan banyak hal untuk hidup,” sebut peneliti.

Sedulur Sikep secara langsung mengajarkan kepada anak-anak tentang bagaimana mereka hidup dan menghidupi hidup mereka. Hal ini tentu sangatlah kontras dengan pendidikan yang ada di sekolah-sekolah formal. Menurut peneliti, seringkali sekolah-sekolah formal hanya diisi dengan teori dan hafalan, namun mereka miskin jika berbicara mengenai pengalaman hidup.

Sebagian besar rumah mereka berbentuk Joglo dengan ukuran yang luas. Bentuk bangunan sedemikian rupa bukan tanpa arti, namun bagi masyarakat Sedulur Sikep rumah tidak hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga menjadi tempat pertemuan dan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Di Rumah tersebut mereka belajar berhitung, membaca, menulis Jawa & Latin, serta mempelajari seni budaya.

Dasar dari pengembangan nilai budi pekerti pendidikan Sedulur Sikep berangkat dari filosofi hidup yang menuju pedoman hidup adeg-adeg, yaitu keseimbangan antara ucapan dan tindakan. Orang yang mengaku sebagai Sedulur sikep haruslah mampu tumbuh dengan cara yang baik serta mengatakan hal-hal yang baik dan benar.

“Dalam kehidupan sehari-hari komunitas Sedulur Sikep dikenal sebagai orang yang jujur. Ketika mereka menemukan barang milik orang lain mereka tidak akan mengambil barang tersebut, bahkan terkadang mereka membiarkan barang tersebut tetap tergeletak begitu saja,” kata peneliti saat menyampaikan hasil wawancaranya.

Ajaran-ajaran yang diwariskan oleh nenek moyang benar-benar dihidupi oleh Sedulur Sikep. Hal ini tercermin dari tindak tanduk para Sedulur Sikep yang menjunjung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran dalam menjalani kehidupan.

Sikap untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke pendidikan formal adalah buah dari perlawanan Samin Surosentika dahulu ketika menolak sekolahan formal kolonial Belanda. Meminjam pernyataan Widyanto (1983), Agus selaku penulis penelitian mengatakan, “Pemahaman mereka sekolah-sekolah formal berbau Belanda, dan dalam pandangan mereka, orang Belanda pandai, tetapi kepandaian mereka dipakai untuk menindas orang lemah. (*)

banner 468x60

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan