Javanetwork.co.id – Wilayah Karesidenan Surakarta yang termasuk Klaten di dalamnya, memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal pengorganisasian antara perkebunan tembakau dan tebu.
Hampir tak pernah ada laporan tentang demonstrasi petani di perkebunan tembakau selama abad ke-20. Ririn Darini bersama dengan Dyah Ayu Anggraheni Ikaningtyas dan Mudji Hartono, menulis kepada jurnal Mozaik.
Hasil penelitiannya dituangkan ke dalam jurnal berjudul Zuiker Onderneming di Kabupaten Klaten 1870-1942: Pengaruhnya dalam Bidang Sosial dan Ekonomi, yang dipublikasikan pada tahun 2019.
“Petani di areal tebu pada saat menunggu musim tebang yang memakan waktu selama delapan bulan, harus mencari sumber matapencaharian lain sendiri,” tulis Ririn Darini dan tim.
Kondisi tersebut menjadi krisis tersendiri bagi para petani yang umumnya tak memiliki modal dan keterampilan di luar sektor pertanian. Faktor inilah yang disinyalir mendorong munculnya tindakan kriminal di areal perkebunan.
Tebu sebagai komoditas utama pemerintah kolonial dengan keuntungan yang menjanjikan, pada kenyataannya tak dirasakan oleh pribumi atau kaum bumiputera di Klaten.
Kondisi sosial masyarakat di sepanjang kawasan Vostenlanden (membentang dari Surakarta-Yogyakarta) selama berjayanya industri gula, digambarkan sangat buruk, utamanya masyarakat Klaten.
Para petani di perkebunan tebu dan indigo, memiliki kewajiban untuk menyerahkan tanahnya kepada pabrik gula selama 15 bulan, di mana tenaga petani beserta dengan anak dan istrinya turut terserap ke dalam kegiatan perkebunan selama 5 sampai 6 bulan.
Parahnya lagi, upah kerja yang diterima oleh para petani tebu tak sebanding dengan tenaga yang mereka kerahkan selama di perkebunan. Masa tunggu dan upah rendah mendorong meningkatnya kriminalitas.
Tercatat, sekitar tahun 1911, rata-rata upah petani tebu di Klaten berkisar antara f.0,20 hingga f.0,30 per hari. Perbandingannya adalah jika dihadapkan dengan harga beras yang mencapai f.10,53 pada tahun yang sama.
Adanya ketidaksenangan petani dengan sistem kapitalisme di perkebunan dan industri gula milik pemerintah kolonial, memunculkan gejolak sosial bagi para petani.
“Ketidakpuasan kalangan Bumiputera adalah melakukan tindakan kriminalitas seperti perbanditan dan perkecuan,” tambahnya.
Kecu merupakan tindakan premanisme, di mana tindakannya cenderung memaksa, menyiksa, hingga membunuh korbannya.
Tindakan ini sudah marak di Klaten dan wilayah Surakarta lainnya sehaj abad ke-19. Target perkecuan umumnya mengarah pada orang-orang kaya seperti penguasa lokal perkebunan, hingga bekel.
Laporan pada tahun 1872, menyebutkan bahwa terjadi sebanyak 24 kali aksi pencurian oleh kawanan kecu di seluruh Karesidenan Surakarta, salah satunya pernah terjadi di Klaten.
Sempat viral di tahun 1875, tepatnya sekitar 9 – 10 Januari 1975, rumah mewah milik seorang bekel, Sumowedono, di desa Onggopatran, Klaten, ludes dicuri oleh kawanan kecu.
Berita pencurian itu sampai ke pihak berwajib, dan kisahnya ramai diperbincangkan kala itu. Bermula dari kawanan kecu yang menemukan kunci pintu rumah Sumowedono yang disembunyikan di bawah tikar depan rumahnya.
Kehilangan dan kerugian yang dialami keluarga kaya raya itu mecapai f.1.117,50. Penjaga rumahnya pun mengalami sejumlah cidera akibat penyerangan dari komplotan kecu.
Sejak peristiwa nahas itu, setiap desa di Klaten memberlakukan ronda malam di sepanjang tahun 1875. Polisi juga turut berpatroli untuk menjaga keamanan masyarakat Klaten.
Meski telah diantisipasi, sampai pada tahun 1923, perkecuan semakin meluas di Surakarta dan wilayah lainnya, seperti Boyolali hingga Wonogiri. Kecu ini yang kemudian menjadi ancaman bagi landhuurder (penyewa tanah).
Penurunan kecu terjadi seiring dengan munculnya peran serta Sarekat Islam (SI) di wilayah Surakarta, mewadahi sejumlah masyarakat pedesaan untuk terlibat dalam usaha dan perniagaan. (*)